Minggu, 01 April 2012

Menunggumu (mati)

Lihat ini sayang, genangan air mata yang kamu lahirkan, telah terkumpul menjadi sebuah sungai duka yang sengaja kupelihara.

Lihat ini sayang, detak jantungku yang mulai melemah, karena lebam yang kamu hantam dengan pengkhianatan.

Coba lihat yang sebelah sini, Cinta.. hatiku yang tinggal separuh karena sisanya masih kamu genggam.

Lalu coba tengok apa yang ada didalam genggaman tanganku, ini patahan-patahan rindu yang dulu sengaja kamu berikan, yang dulu sengaja kamu suruh aku kumpulkan, yang dulu sengaja kamu pinta aku bungkus dengan sebuah pita bernama sabar, lihat! Masih utuh dalam genggaman tanganku yang makin biru menahan pilu.

Tapi lihat mataku, tatap tajam-tajam, apa masih bisa kamu pandang bola mataku yang dulu hanya tertuju padamu? Masih bisakah kamu katakan segala ucap yang menentramkan tiap tetes ragu akan barisan kata pujaanmu? Masihkah? Tidak, sayang. Tidak.Yang tersisa hanya kerak dari duka bernama air mata.

Aku jengah dengan semua tanya mereka, aku bosan dengan tuduhan-tuduhan mereka. Peran yang kamu mainkan di atas sebuah panggung bernama sandiwara, sebuah cerita yang kamu ciptakan, sebuah tokoh yang kamu pakaikan pada jiwa hampa yang bergantung pada nafas pujianmu. Atas nama kebohongan, kamu menelanjangiku yang buta akan peran, kamu pakaikan aku jubah yang terlahir dari kepandaian jemarimu merangkai kata. Memujamu tanpa cela.

Sayang, aku masih di sini, di atas panggung tempatmu membuatku melayang, di pentas dengan skenario rindu yang setia menanti, masih. Tapi, kali ini kurobek jatah peran yang pernah kamu ciptakan, aku telanjang lagi, yang tersisa hanya pandangan mereka yang mengiraku gila.

Sayang, ini masih aku, sedikit aku yang dulu sangat mempercaimu, yang terlanjur diberi peran baru oleh mereka yang tidak mempercayaiku, ah..mereka bilang aku gila. Tidak sayang, aku sama sekali tidak gila, aku hanya sedikit menggilaimu dengan segala kegilaan yang tersisa. Kamu yang membuatku menjadi sosok gila.

Sayang, ini ambil semua rindu yang masih ada digenggaman tanganku, ambil semuanya dan kembalikan hatiku yang saat ini sudah tidak ada lagi di hatimu. Kembalikan hatiku. Kembalikan utuh-utuh! Atau boleh aku tanya, kapan kamu mati? Bisa secepatnya kamu mati, sayang?

Kali ini, aku peringatkan kamu dengan halus, wahai penipu handal, penenun rindu yang pandai menciptakan duka. Dengar baik-baik.. kembalikan hatiku utuh-utuh sekarang atau ku paksa Tuhan mencabut nyawa kebahagiaanmu sekarang. Dengan tanganku.

Sayangku, lebih baik kamu mati sekarang, jangan terus paksa aku mengotori tanganku dengan darah-darah yang terlahir dari pembalasan atas pilu yang makin membuat warasku membatu. Mati saja kamu, biar nanti, aku ambil sisa hatiku di pemakamanmu.

Ah..tidak mau? Mau mengujiku? Mau tau seberapa kejamnya pembalasan dari pemilik hati yang dulu (dan masih) mencintaimu? Mau tau bagaimana kegilaanku membuatmu ikut gila? Mau tau rasanya sakit? Mau coba cicipi sedikit emosiku? Atau ini memang skenario baru yang sengaja kamu ciptakan agar dunia memenjarakanku dalam teralis duka? Ah..atau mungkin ini adalah rencana pandaimu yang lain, agar mereka terus memanggilku si gila? Jahanam! Kamu benar-benar telah membuatku geram!

Atau sebaiknya aku duduk di sini dengan tenang, memasang topeng senyum yang seperti dulu kamu pinjamkan? Menikmati sebutan gila dariNya? Duduk manis di panggung tempatmu bermain sandiwara? Diam dan mendoakanmu agar cepat mati? Menunggu dengan setia, seperti dulu yang pernah ku ucap. Menunggumu. Mati. Segera. Sayang.


Dikutip dari Unplayed Words

1 komentar: