Sabtu, 10 Maret 2012

Pelangi Senja


Pernahkah, kamu memegangi dadamu untuk menenteramkan nyeri yang tiba-tiba muncul dari sana yang menyesak hingga menarik napas pun lebih susah dari biasanya?


Pernahkah, kamu mengalami ingin sekali menangis karena dadamu sebak tapi kamu tetap tidak juga bisa menangis? Kamu hanya merasakan panas di mata, tapi airmatanya tertahan entah kenapa? Padahal kamu ingin sekali mengeluarkannya dan kalau bisa memuaskannya agar kamu kelelahan dan bisa tidur karena sudah bermalam-malam tidak bisa tidur lelap?

Ini, ini aku sedang melakukannya.

Saat ini saat aku memandangi langit sore berawan dengan semburat jingga-ungu-kelabu bergradasi begitu indah, saat di mana aku melihat lengkungan mejikuhibiniu setengah lingkaran di cakrawala. Mengantarkan aku pada sekeping kenangan yang kini sedang berputar di benakku. Tentangmu, Pelangi Senja.

Kamu pergi begitu saja. Tanpa mau duduk sejenak mendengarkanku berbicara. Bagimu, janji yang tak kutepati adalah harga mati. Aku telah menorehkan sebuah noda pada lembar putih kepercayaanmu. Bagimu, tak ada alasan lagi di balik itu. Kamu pergi dan tak menoleh lagi. Setiap langkahmu menjauh dariku, setiap itu pula hatiku terkoyak oleh luka.

Kalau ada waktu, datangi aku. Aku masih menunggu dan tidak akan minta apa-apa. Aku juga tidak akan meminta kamu jatuh cinta. Aku meminta waktumu sedikit saja untuk mendengarku berbicara. Untuk memaafkanku. Untuk saling melepaskan, kalau memang setelah berbicara, kita berdua tetap harus melepaskan.

Lalu biarkan sesuatu di dadaku ini melega. Hanya itu satu-satunya cara.

Bolehkah aku meminta itu saja? Jadi aku bisa mengatakan kepada hatiku sendiri, “Sekarang, sudah tidak apa-apa.”

Dikutip dari Namarappuccino

0 komentar:

Posting Komentar